Selasa, 27 Maret 2012

KERAJAAN MARITIM BERNAMA BANAWA

oleh Banawa Emperor Family Community pada 27 Desember 2010 pukul 23:16 ·
DONGGALA salah satu kota niaga yang dikenal sebagai kerajaan maritim bernama Banawa tempo dulu  yang kini telah berusia sekitar 7 abad. Usia tua itu mengacu pada catatan yang menyebutkan, Donggala abad 14 sudah sering disinggahi kapal niaga untuk perdagangan dan pencarian kayu cendana oleh orang-orang Eropa.

Bahkan bisa jadi, jauh sebelum abad 14, Donggala sudah menjadi salah pusat peradaban cukup penting di Nusantara, mengingat adanya permukiman cikal bakal terbentuknya kota itu sudah cukup lama. Menurut cerita turun-temurun, di sebelah barat terdapat permukiaman tua, tepatnya Ganti (dulu Pudjananti). Dahulu kala, permukiman yang kini jadi kota masih merupakan laut teluk. Konon, air laut sampai di Ganti, sehingga pelabuhan lama berada dalam teluk yang kini jaraknya 2 kilometer lebih dari Pelabuhan Donggala sekarang. Sebagai bukti-bukti arkeologi, menunjukkan di sekitar perkampungan menuju Ganti sangat mudah ditemui pecahan-pecahan kerang berserakan.

Masyarakat Donggala dan Ganti sendiri mempercayai hal itu. Apalagi di Ganti juga ada tempat bernama Langgalopi yang dalam bahasa Bugis Donggala berarti “galangan perahu atau kapal”. Konon, di situlah kapal Sawerigading yang dikenal dalam sure I Lagaligo dari Tanah Luwuk yang dikenal sebagai petualang dan penguasa lautan dengan ratusan armada setiap melakukan pelayaran ke berbagai kawasan, pernah berlabuh dan menyangga kapalnya di tempat itu untuk diperbaiki. Setelah kedatangan Sawerigading di Ganti ia melanjutan pelayaran ke Kerajaan Bangga dan kemudian ke Sigi di Teluk Kaili yang kala itu, Lembah Palu juga masih berupa perairan laut teluk.

Pelayaran tersebut bermaksud menjalin persahabatan dan tak terkecuali bermaksud mencari wanita-wanita cantik untuk dijadikan istri. Tapi selama di Tanah Kaili, Sawerigading gagal mengawini Ngilinayo, ratu Sigi, karena saat meminang tiba-tiba saja terjadi bencana alam dahsyat (gempa bumi), sehingga pembicaraan pinang-meminang berubah jadi saling menyelamatkan diri dan berakhir menjalin persahabatan dan persaudaraan.

Menurut legenda, akibat bencana itulah, kemudiaan perairan teluk yang kini kota Donggala dan Palu, jadi mengering, setelah air laut surut dan sebagian teluk tertimbun tanah. Penduduk di punggung-punggung pegunungan pun mulai turun ke lembah bekas laut itu sebagai pemukiman baru secara turun temurun hingga sekarang.

Benar-tidaknya cerita ini, memang belum dapat dipastikan. Tapi yang jelas bila dihubung-hubungkan beberapa nama tokoh dan tempat yang disebutkan dalam kitab Bugis Kuno, I Lagaligo beberapa bagian menyebut nama Pudjananting sebagai salah satu wilayah Sawerigading dalam melakukan petualangan dimana I Lagaligo putra Sawerigading melakukan perkawinan dengan seorang wanita bernama Karaeng Tompo di Pudjananting. Ada pula disebutkan tentang nama Nyilina iyo yang di di Tanah Kaili atau tepatnya di Kerajaan Sigi dikenal sebagai raja perempuan pertama di kerajaan itu, Cuma saja dalam kitab tersebut, Nyilina Iyo dimaksud adalah seorang laki-laki sebagai raja Sunrariaja.

Kitab bahasa Bugis yang telah diterjemahkan ke Bahasa Belanda oleh R.A. Kern tahun 1936 yang kemudian oleh La Side dan Sagimun M.D diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan Gadjah Mada University Press, 1993, sangat menarik diteliti lebih lanjut. Beberapa nama lokasi (tempat) disebutkan di dalam suatu peristiwa, sulit diinterpretasikan atau dicocokkan dengan nama-nama tempat yang ada sekarang, kecuali beberapa daerah lainnya. Sebab mungkin nama-nama tempat dalam peristiwa ratusan tahun silam itu, kemudian berubah nama sesuai perkembangan masyarakatnya.

Salah satu daerah jelajah Sawerigading adalah Pudjananting. Mungkin yang dimaksud itu adalah Pudjananti (sekarang: Ganti), mengingat orang Kaili dalam melafalkan suatu nama berakhiran ng, selalu tidak disebutkan, sehingga Pudjananting itulah disebut Pudjananti. Begitu pula sebutan Sawerigading dalam bahasa Bugis orang Kaili mengeja menjadi Saverigadi dengan menghilangkan ng. Dalam kitab tersebut, bisa memperkuat kebenaran cerita rakyat kalau Sawerigading pernah menambatkan perahunya di Ganti. Kalau memang benar, berarti jauh sebelum itu, di daerah sekitar Donggala sekarang ini telah menjadi permukiman sejak lama.

Pudjananti, merupakan salah satu dari tiga kerajaan tua di Sulteng se-zaman Majapahit dan Singasari, yakni Kerajaan Banggai (Benggawi) dan Sigi. Dalam tulisan almarhumah Andi Mas Ulun Parenrengi (13 Tokoh Sejarah Dalam Pemerintahan Kerajaan Banawa) yang belum diterbitkan, menjelaskan; Pudjananti mengalami masa kejayaan antara 1220-1485. Kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya Kerajaan Banawa Donggala dengan raja pertama, seorang perempuan, bernama I Badan Tassa Batari Bana, (1485-1552). Kedua juga perempuan; I Tassa Banawa (1552-1650), ketiga masih perempuan, I Toraya (1650-1698).

Baru raja keempat pertama dipimpin laki-laki, La Bugia Pue Uva (1698-1758), tapi penggantinya, raja kelima kembali dipimpin perempuan; I Sabida (1758-1800) dan raja keenam merupakan perempuan terakhir dalam pemerintahan Banawa, bernama I Sandudongie (1800-1845). Raja ketujuh La Sabanawa I Sanggalea Dg Paloera (1845-1888), raja kedelapan Lamakagili Tomai Doda Pue Nggeu (1888-1902), raja kesembilan Lamarauna Pue Totua (1902-1930), raja kesepuluh La Gaga Pue Tanamea (1930-1932), raja kesebelas La Ruhana Lamarauna (1935-1947), raja keduabelas La Parenrengi Lamarauna (1947-1959). Sedangkan La Malonda Pue Djoli, sebagai pelaksana harian Kerajaan Banawa dikenal sebagai ketua dewan adat Pitunggota (1889-1903).

Konon nama Banawa diambil dari salah satu sebutan kapal walenrenge Sawerigading. Diabadikan sebagai kenangan atas pertalian persaudaraan keturunan dinasti Sawerigading dari putranya I Lagaligo. Sebab dipercaya, raja-raja yang memerintah di Pudjananti merupakan keturunan I Lagaligo, putra Sawerigading.

Semasa hidupnya Mas Ulun yang juga salah satu keturunan raja terakhir Banawa sangat rajin melakukan penjejakan dokumentasi dan penulusuran sejarah Banawa. Dalam tulisannya yang belum sempat diterbitkan [Cuma saja ia tidak menjelaskan sumbernya], menyebutkan silsilah keturunan raja dalam pemerintahan Banawa bertitik awal dari I Lagaligo, sebagai berikut;

I Badan Tassa, putri Patta Manurung (kakak tertua La Umasse Raja Bone II) dari istrinya Peambuni putri Raja Kaili dengan La Mappanganro Le Gantie putra Lagaligo Datuna Luwu-Palopo dari istrinya Karaeng Tompo Daeng Malino Raja Pudjananti keturunan To Manurunge ri Goa (To Mangkasak). Dibuatlah kesepakatan dari raja-raja yang menurunkan darah bangsawan murni kepada kedua mempelai dengan hadiah seluruh wilayah Kerajaan tua Pudjananti dengan nama baru “Kerajaan Banawa.”

Pelabuhan Jadi Rebutan

Pudjananti, dari abad ke abad mulai dikenal sebagai salah satu kerajaan Nusantara, terlebih lagi, ketika beralih menjadi Kerajaan Banawa. Kipranya kian besar dan dikenal lebih luas hingga ke berbagai negara lain. Ketenaran dan peran besar yang disandangnya, berkat bandar niaga Donggala yang mendapat perhatian orang-orang untuk dijadikan salah satu kota jaringan perniagaan. Bahkan kapal pedagang Portugis pernah menyerang bandar ini, untuk dikuasai, sehingga terjadi saling serang antara pihak kerajaan dengan Portugis tahun 1669 di masa pemerintahan raja La Bugia Pue Uva dan dapat mempertahankannya.

Sebelumnya pedagang dari Gujarat (India), Arab dan Cina sudah sering mendatangi kota itu. Mereka membawa barang-barang untuk dijual dan sebaliknya membeli hasil bumi berupa; rotan, damar, kayu cendana, dan repah-rempah. Kemudian pedagang Gujarat tahun 1767 mulai memperkenalkan cara menenun kain sutra yang kini dikenal sarung Donggala yaitu pada masa pemerintahan raja Banawa I Sabida (1758-1800).

Makin ramainya bandar ini, membuat bangsa-bangsa asing berdatangan dengan kepentingan masing-masing. Bahkan jauh sebelum itu telah terjalin jaringan pelayaran dan perdagangan sebagaimana diungkapkan Indonesianis dari Prancis, Ch. Pelras dalam buku Citra Masyarakat Indonesia (PT. Sinar Harapan), menyebutkan sebuah naskah Cina paling tua diterbitkan dalam bentuk terjemahan tentang daerah Nusantara yang disampaikan oleh J.V.Mills dalam Archipel No. 21 (Chinese Navigation) halaman 79 menyebut hanya mengenai Donggala di Sulawesi sesudah tahun 1430.

Jadi jelas sebelumnya sudah menjadi kota penting memiliki daya tarik bagi pedagang, terutama untuk membeli kayu cendana (Santalum album), salah satu jenis kayu bernilai ekonomi tinggi banyak dicari pedagang dari Eropa. Orang Eropa pertama yang tinggal di Sulawesi Selatan bernama Antonio de Paiva dalam tahun 1542-1543 yang bermaksud mendapatkan kayu cendana, menurut Pelars rupanya diperkirakan bisa diperoleh di daerah Donggala. Saat itu di daerah Kaili banyak ditumbuhi pohon cendana akar. Kesaksian terakhir disampaikan oleh seorang peniliti Dr. Boorsman, pernah menemukan beberapa batang pohon cendana di pegunungan yang hampir gundul di sekitar Palu-Donggala. Sayang jenis kayu ini sudah punah, kecuali tinggal beberapa pohon masih dapat ditemui di suaka alam Poboya, Palu Timur.

Dalam perkembangannya, Donggala bukan saja dikenal kota pelabuhan, tapi juga kota pelajar, kota niaga (perdagangan), kota pemerintahan, kota perjuangan dan kota budaya yang sering mendapat kunjungan. Josep Condrad, misalnya seorang pengarang berkebangsaan Inggris kelahiran Polandia, menjadikan Donggala sebagai salah satu tempat penjelajahan Nusantara (1858-1924) dan sempat menjalin persahabatan dengan La Sabanawa I Sangalea Dg Paloera, raja Banawa ke-7 (1845-1888).

Tapi pemerintah Hindia Belanda-lah yang akhirnya menguasai penuh bandar ini setelah sejak lama melakukan penaklukan dengan memaksa raja menandatangani berbagai perjanjian, salah satu cara penaklukan halus. Raja Banawa ke-VI, I Sandudongie, tahun 1824 terpaksa menandatangani kontrak dengan Pemerintah Belanda, demikian pula kerajaan-kerajaan lain mengalami hal yang sama. Berbagai penekanan dan adudomba, dapat memuluskan Belanda membangun Kantor Doane dan berbagai fasilitas perkantoran, demi memperlancar monopli perdagangan dan kekuasaan segala hal.

Maka sejak awal abad 20, kedudukan Belanda makin kuat menjalankan kekuasannya di Donggala hingga kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Pada masa kemerdekaan itu, Donggala masih tetap mengandalkan bandar lautnya dalam beberapa dekade sebagai pintu gerbang pendistribusian barang-barang produksi ke berbagai kota di Sulteng.

Jadi Donggala sebagai kota dan pelabuhan adalah ibarat satu jiwa dan raga yang tak terpisahkan. Tapi sayang dalam perjalanan sejarah kota pelabuhan ini mengalami pasang-surut yang tidak lepas dari percaturan politik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Bukan saja kehadiran pemerintah Belanda terlalu banyak menimbulkan konflik dan adu-domba antarkerabat raja-raja. Pendudukan tentara Jepang dan kehadiran tentara Sekutu/NICA dalam Perang Dunia II, membuat kota yang dibangun ratusan tahun silam kembali kecipratan sengsara dengan hantaman bom sehingga porak-poranda.

Memang fungsi pelabuhan bukan saja jadi nadi perekonomian, tapi juga menjadi area kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan kemerdekaan. Sekedar contoh, ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai), Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.

Tahun 1957 pemberontak Permesta membombardir pelabuhan dengan serangan udara pesawat Bomber AUREV B-26, mengakibatkan lima kapal perang RI (Moro, Giliraja, Mutiara, Insumar dan RI Palu) yang sedang berlabuh tenggelam bersama peralatan perang; senjata, truk, tank dan bermacam perbekalan perang, serta menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda kapal Moro.

Rebutan dan penderitaan belum sampai disitu. Kebijakan pemerintah Orde Baru yang mengalihkan fungsi dan status pelabuhan nasional Donggala ke Pantoloan tahun 1978, redup pula mobilitas perekonomian dalam kota. Bahkan hingga kini di era reformasi, episode “rebutan” masih akan berlanjut entah sampai kapan?

Ketika cerita kejayaan masa silam itu dibuka kembali, seakan hanya sebuah legenda bagi generasi mendatang. Tapi itulah sebuah geliat budaya yang pernah berproses di sebuah pelabuhan. *
· · Bagikan · Hapus

SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BANAWA

oleh Banawa Emperor Family Community pada 27 Desember 2010 pukul 23:41 ·
SEJARAH SINGKAT KERAJAAN BANAWA




Kerajaan Banawa didirikan oleh Sawerigading dengan puteranya bernama La Galigo. Dengan perahu layar yang ramping bernama Banawa, mereka mengarungi lautan sampai ke pesisir barat Sulawesi Tengah dan berlabuh di sebuah pantai kira-kira 7 km dari kota Donggala sekarang. Pantai tersebut dinamakan Langga Lopi dan daerah disekitarnya disebut Banawa. Di daerah ini La Galigo menikah dengan puteri Kaili dari Kerajaan Pudjananti bernama Daeng Malino Karaeng Tompo Ri Pudjananti sebagai isteri keempatnya. Dari pernikahan tersebut melahirkan dua orang anak, yang putra bernama Lamakarumpa Daeng Pabetta La Mapangandro (Pergi menantang kemudian menang akhirnya semua menyembah kepadanya) sedangkan yang puteri diberi nama Wettoi Tungki Daeng Tarenreng Masagalae Ri Pudjananti (bintang tunggal yang semua orang menjadi pengikutnya).
Oleh kakek dan ayahnya, La Mapangandro dinikahkan dengan cucu Arung Mangkane Ri Bone.Dari pernikahan tersebut, maka didirikanlah sebuah kerajaan bernama Banawa beribukota di Pudjananti yang jauhnya sekitar 5 km dari Kota Donggala sekarang. Pada saat itu Kerajaan Banawa memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Pelabuhan Donggala
- Sebelah Barat berbatasan dengan Dataran Luas atau Lappaloang
- Sebelah Timur berbatasan dengan Pegunungan Kabonga dan Loli
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Limbabo dan Tovale

Tetapi pada zaman pemerintahan Raja Banawa VII La Sa Banawa dan Raja Banawa IX La Marauna, Kerajaan Banawa yang merupakan kerajaan lokal memiliki luas wilayah sekitar 460.000 Ha terbagi atas tiga bagian sebagai berikut :
- Banawa Selatan : dari Loli Watusampu sampai Surumana berbatasan dengan Mamuju
- Banawa tengah : dari Pantoloan sampai Sindue
- Banawa Utara : dari Balaesang sampai Dampelas Sojol termasuk Pulau Pasoso, Pangalasing, Tingoan danMapute.

Sejak pemerintahan Raja Banawa VII La Makagili, Kerajaan Banawa yang berpusat di Pudjananti tepat pada Tanggal 23 Juli 1893 dipindahkan ke Donggala. Sejak itu, Donggala menjadi ibukota Kerajaan Banawa sampai pada akhir pemerintahan Raja Banawa XII Andi Parenrengi atau La Parenrengi. Sejalan dengan dihapusnya daerah-daerah Swapraja di seluruh Indonesia, sekarang Banawa hanyalah sebuah kecamatan dari ibukota Kabupaten Donggala.

Berikut ini silsilah singkat Raja-raja Banawa :

1. Raja Banawa I
Bernama I Badantasa, anak ke tujuh (Putri Bungsu) dari perkawinan Puteri Peambuni dengan Petta Manurung. Menikah dengan La Mapangandro (Putera dari La Galigo) dan memiliki dua orang puteri yaitu : I Tasa Banawa (menjadi Raja Banawa II) dan Gonenggati (diangkat menjadi Magau Kayunggahui)

2. Raja Banawa II (1552 – 1557)
Bernama I Tasa Banawa, mengembangkan kekuasaan kerajaan ke daerah sekitarnya dan membentuk dewan Hadat Pittunggota. Menikah dengan Magau Lando Dolo dan mempunyai dua orang puteri yaitu : Puteri Kotambulava yang lahir bersama seekor ular diberi nama Siri Banawa yang kemudian dihanyutkan ke Uwe Makuni. Kotambulava kemudian menjadi Madika Banawa menikah dengan Sawalambara mempunyai anak bernama Intoraya (menjadi Raja Banawa III). Sementara itu, puteri kedua I Tasa Banawa bernama Puteri Taranggita yang diangkat menjadi Madika Malolo Banawa dan menikah dengan Madika Matua Bale.

3. Raja Banawa III (1650 – 1698)
Bernama Intoraya yaitu cucu dari Raja Banawa II. Merupakan raja yang pertama memeluk agama Islam di Kerajaan Banawa yaitu pada tahun 1652. Menikah dengan La Masanreseng, Arung dari Cendana Mandar dan mempunyai empat orang anak yaitu : La Bugia (diangkat menjadi Raja Banawa IV), La Lotako, Puteri Nanggiwa dan Puteri Nanggiana.

4. Raja Banawa IV (1698 – 1758)
Bernama La Bugia, laki-laki pertama yang memerintah Kerajaan Banawa. Menikah dengan sepupu sekalinya Kotambulava yang dikaruniai dua orang anak yaitu : Puteri Isa Bida (Raja Banawa V) dan La Sauju. La Sauju kemudian menikah dengan To Nagaya Madika Tavaili yang menurunkan keturunan sampai pada generasi Lamakampali.

5. Raja Banawa V (1758 – 1800)
Bernama Isa Bida, raja wanita yang pemberani dan sakti. Menikah dengan Madika Matua Banawa dan memperoleh empat orang anak yaitu : La Bunia, Kalaya, Lauju dan Puteri Sandudogie (diangkat menjadi Raja Banawa VI)

6. Raja Banawa VI (1800 – 1845)
Bernama Puteri Sandudogie, raja wanita terakhir yang memegang tampuk pimpinan. Menikah dengan Magau Lando Dolo dan memperoleh seorang putera bernama La Sa Banawa (diangkat menjadi Raja Banawa VII)

7. Raja Banawa VII (1845 – 1889)
Bernama La Sa Banawa (bergelar “Mpue Mputi”) menikah dengan I Palusia dan dikaruniai dua orang putera yaitu : I Tolare menikah dengan Hanani Kabonga mempunyai anak bernama La Gaga (menjadi Raja Banawa X) dan La Marauna (diangkat mnejadi Raja Banawa IX)

8. Raja Banawa VIII (1889 – 1903)
Bernama La makagili, terkenal sebagai yang paling berani dan gigih melawan pemerintah Belanda. Keturunan-keturunan raja La Makagili pada umumnya masih banyak menetap di Pantoloan.

9. Raja Banawa IX (1903 – 1926)
Bernama La Marauna (bergelar “Mpue Totua”). Diangkat menjadi Magau Tavaili pada tahun 1900 – 1905. Raja pemberani dan bijaksana yang disegani oleh Pemerintah Belanda.

10. Raja Banawa X (1926 – 1932)
Bernama La Gaga putera dari I Tolare (kakak Raja La Marauna) dilantik oleh Dewan Hadat Pitunggota.

11. Raja Banawa XI (1932 – 1947)
Bernama La Ruhana putera keempat dari raja La Marauna.

12. Raja Banawa XII (1947 – 1959)
Bernama La Parenrengi, putera bungsu Raja La Marauna menikah dengan Hajja Sania Tombolotutu. La Parenrengi adalah Ketua PNI Pertama di Sulawesi Tengah sekaligus menjadi raja terakhir pada masa Kerajaan Banawa, ia meninggal di Palu pada tahun 1986.











· · Bagikan · Hapus

  • 6 orang menyukai ini.
    • Abdi Losulangi sedikit protes dan harus menjadi bahan masukan...... ibadantasa yg kawin dg Lapangandro bukan memiliki hanya dua orang anak tp tiga orang...yg satunya lagi bernama MANU LEA TAJI LEMBAH (ayam jantan taji lembah)... yg kemudian menjadi MADIKA di Bulu Mporoya (sebuah gunung di atasnya LOLI)... MANULEA TAJI LEMBAH inilah yg menurunkan para TADUKAKO dan Tomalanggai di LOLI dan KAYUMALUE
    • Banawa Emperor Family Community OK. MAKASIH INFONYA. JIKA ANDA PUNYA DATA YANG LAIN BOLE TIDAK DIBAGI KE KAMI. MAKASIH MASUKANNYA SEMOGA INI BISA MEMPERKAYA INFORMASI TENTANG NEGERI KITA> WASSALAM> SALAM HORMAT DARI KAMI. TABE

Letter from DP Tick Raja Muda Kuno - Anggota Kerabat Kerajaan Kupang

Letter from DP Tick Raja Muda Kuno - Anggota Kerabat Kerajaan Kupang

oleh Banawa Emperor Family Community pada 3 April 2011 pukul 3:21 ·
Extremely interesting this article.I have pictures from Dutch archives of the Kings/magau’s La Ruhana Lamarauna,Lamarauna(1901-1916)and good silsilah with exact dates and other interesting information/pictures about kerajaan Banawa.I really would like to send good prints of it to the Royal family.Please send me your e-mail,or your adress,or give me your contactperson.
May I congratulate the Royal family with the installation of the new Magau and my sincere condolences with the passing away of Magau Adam Ardjad Lamarauna.
Hormat saya:
D.P. Tick gelar Raja Muda Kuno
(Anggota Kerabat Istana Kupang(Sonaf KutaE Bakunase))
secretary Pusat Dokumentasi Kerajaan2 di Indonesia “Pusaka”
van Bleiswijkstraat 52C
3135 AM Vlaardingen
the Netherlands
0031-(0)10-4603516
pusaka.tick@tiscali.n

Pengalaman dan Kegiatan Yayasan Pudjananti Indonesia


4         Pengalaman dan Kegiatan

(1)             Penelitian dan Pendokumentasian data-data sejarah Sulawesi Tengah 1990 s/d 1999 kerjasama dengan Gedung Arsip Nasinal dan Asia Foundation, Jakarta
(2)             Proyek Pelestarian Naskah Lontaraq kerjasama Yayasan Pudjananti Indonesia dengan Universitas Hasanudin, Ford Foundation, Gedung Arsip Nasional Dan Center for Research Libraries, Chicago, ILLinois, USA.
(3)             Pembinaan Generasi Putus Sekolah di Kecamatan Banawa Kabupaten Donggala kerjasama dengan Pemerintah Kecamatan Banawa dan Karang Taruna , Tahun 1987 – 1990.
(4)             Pembinaan dan Pelatihan Keterampilan untuk Bekas Penyandang Kusta kerjasama dengan Balai Latihan Kerja  Sulawesi Tengah Tahun 1988 – 1990.
(5)             Pembinaan Suku Adat Terasing, Desa Parisan Kecamatan Dampelas Kabupaten Donggala, Tahun 1996 -1997.
(6)             Pembinaan Janda Rawan Sosial di Desa Sienjo Kecamatan Ampibabo, kerjasama dengan Departemen Sosial Prop. Sulawesi Tengah, Tahun 1997/1998.
(7)             Studi Pemberdayaan Perempuan Suku Terasing Dalam Pengelolaan Lingkungan di daerah Bonemarawa Kecamatan Dolo, Kabupaten Donggala. Tahun 1998.
(8)             Program Penerapan Desa Model di 19 Desa di Kecamatan Ampibabo, Tahun 1993 s/d 1994.
(9)             Pelatihan Peningkatan Mutu Kakao Fermentasi bagi Petani Kakao di Kabupaten Donggala.
(10)          Program Peningkatan Dan Pemasaran Mutu Kakao Fermentasi melalui Koperasi Pemuda Pudjananti Indonesia 1993 s/d 1997.
(11)          Anggota Survey dan Baseline Data Kelayakan Pengembangan Desa Ganti dan Desa Gunung Bale Kecamatan Banawa, kerjasama dengan Yayasan Banua Rakyat, Dinas PU Bina Marga Kabupaten Donggala Tahun 2000.
(12)          Sub Kontrak Pengelolaan Program Pengembangan Wilayah Pertanian Terpadu ( PPWT-SAADP ),  pada Yayasan N’todea, ( Pengelolaan & Penanggung Jawab Program ) Tahun 2001.
(13)          Financial Management System ADB TA NO. 3518 – INO, Tahun 2001, Konsorsium dengan BCEOM Perancis dan PT Amurwa Pranata Consultant Tahun 2002.
(14)          Program Pemberdayaan Gender untuk PPWT-SAADP Sulawesi Tengah, Pilot Project Desa Bora Dan Mbuwu Kabupaten Donggala Tahun 2002.
(15)          Program Pelatihan Life Skill, kerjasama dengan Dinas Pendidikan Dan Pengajaran Propinsi Sulawesi Tengah, 2002.
(16)          Penelitian Dan Pengembangan Kerajinan Kulit Kayu, kerjasama dengan BAPPEDA  Kabupaten Donggala, 2002.
(17)          Lokakarya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, kerjasama dengan BAPPEDA  Propinsi Sulawesi Tengah , 2002.
(18)          Lokakarya Antar Instansi Program Pengelolaan Pesisir dan Laut, kerjasama dengan BAPPEDA Propinsi Sulawesi Tengah, 2002.
(19)          Program  Keaksaraan Fungsional (Pemberantasan Buta Aksara) kerjasama Dinas Pendidikan dan Pengajaran Propinsi Sulawesi Tengah, 2003.
(20)          Inventarisasi  Benda Cagar Budaya/Perintisan Museum Lokal pada Proyek Pengembangan Produk Pariwisata di Kabupaten Donggala kerjasama Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Donggala,  2003.
(21)          Penelitian Pengembangan Potensi Kawasan Danau Poso kerjasama dengan BAPPEDA Kabupaten Poso, 2003
(22)          Lokakarya Partisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Pesisir dan Laut, kerjasama dengan Dinas  Perikanan Kabupaten Poso, 2003.
(23)          Proyek  Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi (Poor Farmers Income Improvement Through Innovation Project) Pilot Project 10 desa Kabupaten Donggala kerjasama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Donggala, 2003.
(24)          Pelatihan Perencanaan Desa (Partisipatif) Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Melalui Inovasi  (Poor Farmers Income Improverment Through Innovation Project) 75 desa Kabupaten Donggala kerjasama dengan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Donggala, 2004
(25)          Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (Poor Farmers Income Improvement Through Innovation) Penggalian Kebutuhan masyarakat (PRA) di 65 desa Kabupaten Donggala. 2004
(26)          Sustaining Microfnance Project (SMFP) Survey Keberlanjutan Proyek Pemberdayaan Masyarakat (SAADP) di Kabupaten Buol, Banggai dan Banggai Kepulauan kerjasama Konsultan PT. Madecor Group, PT. Cipta Nusa dan PT. Inacon Luhur Pertiwi Jakarta. 2004.
                         
(27)          Proyek Peningkatan Pendapatan Petani Miskin Melalui Inovasi (Poor Farmers Income Improvement Through Innovation) Pelatihan Manejemen Kesekretariatan FAD dan FD 10 desa pilot project. 2004
                             
(28)          Lokakarya Konsultasi Stakeholder Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (MCRMP) Kabupaten Parigi Moutong. 2004.
(29)          okakarya Antar Instansi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (MCRMP) Kabupaten Parigi Moutong. 2004.
(30)          Pelatihan Konsultasi Publik Dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (MCRMP) Propinsi Sulawesi Tengah. 2004.
                                    
(31)          Lokakarya Perundang-Undangan dalam Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut ( MCRM ), Tahun 2004.
(32)          Pemberdayaan Kelompok Pemuda dan Ibu Nelayan (Life Skills)  desa Tanjung Padang Kec. Sirenja Kab. Donggala. 2004 - 2005
(33)          Pemberdayaan Kelompok Ternak kambing desa Lero Tatari Kec. Sidue kerjasama dengan PKBM AR-Rahman. 2004  - 2005
(34)          Pemberdayaan Kelompok Tani Ibu PKK Desa Labean Kec. Balaesang Kerjasama dengan PKBM Damai. 2004 – 2005.
 (35)   Program Pelatihan Usaha Pembuatan Pupuk Organik melalui kotoran ternak di Desa Tondo, tahun 2005

Senin, 26 Maret 2012

http://www.facebook.com/pages/Banawa-Emperor-Family-Community/135758646446122

Sarikat Islam di Sulawesi Tengah

oleh Reza Lamarauna pada 22 September 2011 pukul 17:13 ·



Sebersih-bersih tauhid (akidah)
Setinggi-tinggi ilmu pengetahuan (ilmu)
Sepandai-pandai siasat (politik)

Ungkapan di atas merupakan garis ideologi SI yang awalnya merupakan sebuah organisasi bernama Rekso Rumekso yang didirikan oleh Haji Samanhudi pada tanggal 3 Maret 1905. Rekso Rumekso adalah perkumpulan kematian yang dikelola oleh pedagang batik Pribumi di bawah pimpinan Haji Samanhudi di Lawean, Surakarta.

Perkumpulan ini hanya bertahan 6 bulan saja karena pada tanggal 16 Oktober 1905, Haji Samanhudi mengadakan rapat dengan beberapa orang temannya sesama kaum pedagang tentang pembentukan sebuah perkumpulan. Orang-orang yang hadir dalam rapat tersebut antara lain; Sumawardjojo, Hardjosumarto, Martaiko, Wirjotirto, Sukir, Suwandhi, Suraprasanto, dan Djarmani. Dalam rapat tersebut, diputuskan untuk mendirikan sebuah perkumpulan dagang islam yang diberi nama Sarekat Dagang Islam (SDI).

Berkat bantuan Tirto Adi Suryo, pada akhir Januari 1912, Sarekat Dagang Islam mendapatkan status badan hukum sebagai organisasi Sarekat Islam (SI), tapi dengan tanggal yang lebih dini pada akte notaris, 9 November 1911. Dalam dokumen itu, SI disebutkan bertujuan untuk mengejar kemajuan bagi seluruh rakyat Hindia-Belanda, tujuan yang dianggap merupakan kewajiban kaum Muslim untuk menyumbang ke arah kemajuan, karena Islam merupakan pengikat rakyat Hindia-Belanda, sebagaimana Konfusianisme bagi Tiongkok, serta Kristen bagi Belanda.

Kongres SI yang pertama diselenggarakan di Surabaya pada tanggal 26 Januari 1913, dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Dalam kongres itu ia menerangkan bahwa SI bukan partai politik, dan SI tidak beraksi melawan pemerintahan kolonial Belanda. Walaupun demikian, dengan Agama Islam sebagai landasan persatuan dan kesatuan penuh untuk mempertinggi derajat pribumi, SI tersebar ke seluruh Pulau Jawa. Dan beberapa tempat berdiri cabang-cabang SI yang jumlah anggotanya sangat besar, seperti di Jakarta misalnya, jumlah anggotanya kurang lebih 12.000 orang. Pemerintah Belanda tidak senang melihat perkembangan SI yang begitu pesat. SI dengan dasar keagamaannya, mempunyai potensi yang luar biasa untuk menghimpun pengikut diantara rakyat. Meskipun tujuannya mencangkup kegiatan sosial ekonomi, menciptakan kehidupan keagamaan Islam, mempertinggi taraf kehidupan rakyat pada umumnya, menganjurkan kepatuhan kepada pemerintah, namun penguasa kolonial menyadari penuh kekuatan massa dari SI.

Menghadapi situasi yang demikian dinamis dan mengandung unsur-unsur revolusioner, pemerintah menempuh jalan yang sangat hati-hati. Di samping itu Gubenur Jenderal Idenburg meminta nasehat dari penasehat para residennya untuk menetapkan kebijaksanaan politiknya terhadap SI (Noegroho dan Marwati 1977 : 188). Hasilnya adalah permohonan pengurus besar SI untuk dapat pengakuan badan hukum ditolak oleh pemerintah Belanda. Penolakan tersebut dimuat dalam Keputusan Gubernur Jenderal pada tanggal 30 Juni 1913. Keputusan tersebut menjelaskan bahwa yang ditolak untuk menjadi perkumpulan yang berbadan hukum adalah SI seluruhnya sebagai suatu perkumpulan yang sentralistik. Cabang-cabang SI sebagai organisasi tingkat lokal dan daerah masing-masing dapat diberi status badan hukum. Pemerintah kolonial Belanda yang sudah terikat oleh kesanggupan akan memberi dan mengakui badan hukum untuk SI lokal. Akhirnya pada tahun 1914 harus merealisasikan 56 buah cabang SI lokal sebagai organisasi yang berbadan hukum (Tirtoprodjo, 1984 : 28).

Dalam perkembangan selanjutnya, didirikan Central Sarekat Islam (CSI) di Surabaya pada 1915. Pendirian CSI dimaksudkan untuk memajukan dan membantu SI di dalam menjalankan dan memelihara hubungan serta kerjasama di antara mereka. Permintaan CSI untuk diakui sebagai organisasi berbadan hukum dikabulkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan Surat Keputusan tertanggal 18 Maret 1916. Dalam keputusan itu ditegaskan bahwa CSI diwajibkan mengawasi tindakan dari pengurus serta anggota-anggota SI lokal, disusun pula pengurus pertama CSI, H.O.S. Tjokroaminoto sebagai ketua, Abdul Muis sebagai Wakil Ketua bersama Haji Gunawan.

Untuk menghargai jasa Samanhudi sebagai pendiri organisasi SI, maka CSI mengangkat Haji Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan (Sitorus 1987 : 19-20). Selanjutnya SI mengadakan Kongres di Bandung pada tanggal 17-24 Juni 1916 yang dipimpin oleh H. O. S. Tjokroaminoto. Pengurus ini dinamakan Kongres Nasional pertama SI. Pada konggres SI tahun 1917 di Jakarta muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang. Namun kongres itu memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zeif bestuur atau pemerintah sendiri, selain ditetapkan pula azas yang kedua berupa perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat, sejak itupula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI dalam Volksraad (Dewan Rakyat).

Jumlah anggota SI terus meningkat dan ini terbukti dalam kongres ketiga tahun 1918 di Surabaya. Anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 SI lokal. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ketubuh SI. Tahun 1919 untuk SI adalah tahun propaganda terhadap kapital asing. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah anggota hingga mencapai 2.000.000 orang. Pada saat itu muncul keraguan apakah SI masih bersikap damai seperti yang disampaikan oleh Tjokroaminoto dahulu. Keraguan ini disebabkan oleh meletusnya Pemberontakan Petani Salumpaga di Toli-toli dibawah pimpinan Imam Haji Hayun, salah seorang pimpinan SI Toli-toli. Kemudian aksi rahasia di Garut (perkara afdeling B), suatu aksi yang tentunya tidak diketahui oleh beberapa anggota CSI.


Sarekat Islam di Sulawesi Tengah : Sebuah Perspektif
Sarekat Islam termasuk organisasi yang memiliki pengaruh yang cukup luas. Hal ini ditandai dengan berdirinya cabang-cabang SI hampir di seluruh daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah. Sarekat Islam mulai mengembangkan pengaruhnya di Sulawesi Tengah pada tahun 1916 di Donggala dengan Rohana Lamarauna sebagai ketuanya. Sebagai pimpinan, Rohana Lamarauna memainkan peranan penting dalam penyebaran SI di daerah Banawa. Rohana Lamarauna memiliki pengaruh kuat di kalangan para pengikut SI, bukan hanya di wilayah Onderafdeling Donggala namun juga di daerah lainnya seperti Tolitoli. Rohana Lamarauna ikut mendampingi kunjungan Cokroaminoto, Ketua Umum SI ke Tolitoli pada bulan April 1917. Menjelang awal Mei 1917, Rohana Lamarauna merintis pembentukan SI cabang Tolitoli dengan mengadakan rapat di kampung Nalu di rumah Syahbandar Tolitoli. Pejabat Pemerintah Belanda setempat memberikan peringatan keras dengan menjatuhkan denda terhadap Rohana Lamarauna dan kaum bangsawan lainnya yang mengikuti rapat itu, namun mereka tetap melanjutkan rapat. Tindakan itu membuat pengaruh Rohana Lamarauna di Tolitoli meningkat pesat, begitu juga di Donggala .

Selama kepemimpinan Rohana Lamarauna, Sarekat Islam mencapai keanggotaan sekitar 800 orang pada akhir tahun 1917. Pengakuan atas peranan penting Rohana Lamarauna dalam SI diungkapkan pada saat kunjungan Cokroaminoto ke Donggala dalam rangka pertemuan Massa Kader SI bulan Mei 1917. Rohana Lamarauna dan Ismail Marzuki diutus Cokroaminoto untuk berangkat ke Tolitoli untuk mengurusi SI Cabang Tolitoli yang telah terbentuk sejak bulan Mei 1916 yang akan diletakkan di bawah koordinasi Rohana Lamarauna .

Penyebaran dan perkembangan SI yang sangat pesat ini menjadi perhatian serius dari Pemerintah Belanda. Dengan sikapnya yang kritis dan menunjukkan gejala penentangan terhadap kebijakan pemerintah, SI tampil sebagai sebuah organisasi oposisi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, Pemerintah kolonial menganggap SI sebagai sumber ancaman yang membahayakan. Bukan hanya pemerintah kolonial, namun ada juga kalangan elite penguasa Kerajaan Banawa melihat SI sebagai bahaya bagi pengaruh mereka. Kondisi ini bertolak pada kenyataan bahwa para bangsawan dan elite tradisional Banawa yang tidak puas dan tersingkir dari pusat kekuasaan bergabung dalam SI dan menggunakan program SI untuk menyerang kelompok elite Banawa yang berkuasa .

Mempertimbangkan kondisi tersebut, pemerintah Belanda mendukung keinginan elite penguasa Banawa membentuk suatu organisasi untuk mengimbangi SI. Raja Palu Parampasi dan Raja Banawa Lagaga kemudian bersama-sama setuju untuk membentuk Perserikatan Raja Banawa (PRB) sebagai organisasi tandingan SI. Perserikatan Raja Banawa terdiri dari kaum bangsawan serta masyarakat Palu dan Banawa yang tidak setuju dan tidak bergabung dengan SI. Pemerintah Kolonial Belanda menyetujui langkah ini dan membuat peraturan bahwa semua elite politik yang menduduki jabatan di Kerajaan Palu dan Kerajaan Banawa wajib masuk menjadi anggota PRB. Penerapan kerja sama antara elite penguasa Banawa dan Pemerintah Kolonial Belanda diwujudkan setelah kesempatan muncul pada bulan Mei 1918, yakni ketika Rohana Lamarauna diangkat sebagai madika matowa . Tetapi Rohana Lamarauna baru mengundurkan diri sebagai pimpinan SI cabang Donggala pada tahun 1923 setelah diberlakukannya disiplin partai sesuai hasil Kongres SI tahun 1921 tentang larangan memiliki keanggotaan ganda .

Sejak itu hubungan Rohana dengan SI tidak lagi nampak. Rohana tidak lagi aktif dalam wadah SI sampai akhir kekuasaan Belanda, meskipun organisasi itu masih menghendaki dan menawarkan kedudukan kepadanya. setelah mundurnya Rohana, SI mengalami kemerosotan jumlah anggota meskipun beberapa bangsawan masih aktif di dalam wadah organisasi tersebut hingga pada tahun 1923, ketika SI dirubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).

Perkembangan selanjutnya, banyak tokoh dan anggota SI yang lain kemudian banyak beralih ke organisasi Muhammadiyah yang mulai banyak dibuka di Donggala pada akhir dekade kedua abad 20. Setelah kemunduran SI, Muhammadiyah menjadi pilihan utama untuk menyalurkan suara (pendapat). Apalagi setelah kedatangan Buya Hamka di Donggala (1932-1934). Beliau sangat berperan dalam pembentukan dan pengembangan Muhammadiyah pada masa awal berdirinya.

Pertentangan antara elite penguasa dan tokoh-tokoh SI juga terjadi di Lembah Palu. Kehadiran SI di Lembah Palu pada tahun 1917 di bawah pimpinan Yoto Dg Pawindu DS mendapat sambutan dan simpati masyarakat. Melihat situasi tersebut, Pemerintah Belanda menganggap kehadiran SI sebagai ancaman yang berbahaya. Atas hasutan Belanda, Raja Palu saat itu yaitu Parampasi membentuk PRP atau Persatuan Raja Palu bersama aparatnya, yang oleh Belanda dijadikan sebagai tandingan SI. Namun bak peribahasa “anjing menggonggong kafilah berlalu”, pengaruh SI justru meluas hingga ke wilayah Kerajaan Dolo yang mendapat dukungan dari Raja Dolo Datu Pamusu .

Karena bergabung dengan SI, Raja Dolo Datu Pamusu, diturunkan dari tahtanya dan dibuang ke Ternate. Kemudian Yoto Dg Pawindu DS dan Abd Rahim Pakamundi ditangkap Belanda dan dibuang ke Bandung dan mendekam di Penjara Sukamiskin selama 3 tahun. Yoto Dg Pawindu ditahan di Sukamiskin bersama Bung Karno sehingga sekembalinya dari Sukamiskin, Yoto Dg Pawindu membentuk dan memimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) .

Selain di Donggala dan Lembah Palu, SI juga mempengaruhi daerah Tolitoli. Pengaruh SI di Toli-toli dapat kita lihat dari peran sentral tokoh-tokoh SI Tolitoli dalam terjadinya peristiwa Salumpaga tahun 1919. Peristiwa Salumpaga dipimpin oleh seorang imam yang merupakan salah seorang pimpinan SI di Tolitoli yaitu Imam Haji Hayun. Peristiwa tersebut merupakan klimaks dari pidato Abdul Muis di Donggala tahun 1918 yang kemudian dibacakan kembali di Lapangan Nalu (Tolitoli). Isi dari pidato tersebut membakar semangat masyarakat Tolitoli termasuk Salumpaga untuk melawan kolonialisme dan imperialisme barat yang diaktualisasikan sebagai kaum kafir.

Peristiwa ini walaupun dapat diredam dalam waktu singkat akan tetapi gaungnya mengguncangkan wilayah kekuasaan Belanda yang lainnya. Peristiwa tersebut menjadi pembicaraan banyak pihak baik di Sulawesi Tengah maupun di daerah lainnya. Peristiwa tersebut dipicu oleh sikap keras Kontroleur Belanda Johannes Petrus de Kat Angelino yang memaksa rakyat untuk melaksanakan kerja rodi pada tahun 1919 walaupun pada saat itu masyarakat sedang melaksanakan ibadah puasa. Haji Hayun berupaya melakukan diplomasi agar Belanda bisa membebaskan rakyat Salumpaga dari kerja rodi selama bulan puasa .

Pertemuan tersebut kemudian diadakan di Salumpaga. Kontroleur J. P. de Kat Angelino berangkat beserta rombongannya yakni Raja Tolitoli Haji Mohammad Ali Bantilan, Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan, lima anggota polisi, dan Jaksa Singko. Sementara rakyat Salumpaga dipimpin oleh Haji Hayun.

Diplomasi tersebut pada akhirnya tidak menemui kata sepakat karena Belanda menganggap keinginan Haji Hayun tersebut sebagai sebuah pembangkangan. Karena permohonannya ditolak, maka sesuai hasil kesepakatan Haji Hayun dengan sejumlah tokoh masyarakat setempat diputuskan untuk mengadakan perlawanan.

“Lebih baik mati di jalan Allah daripada hidup di bawah pemerintahan orang kafir dan kapan lagi berjihad kalau bukan sekarang,” ujar Haji Hayun. Beliau pun memekikkan kata Allahu Akbar untuk membakar semangat masyarakat Salumpaga. Kalimat takbir itu memantik seseorang bernama Otto yang kemudian dia mengayunkan parangnya ke arah Kontroleur hingga Kontroleur tersungkur dan tewas seketika. Sementara itu, salah seorang bernama Hasan membunuh Jaksa Singko. Salah seorang penduduk lainnya yang bernama Katelebe melemparkan tombak kepada Raja Mohammad Haji Ali Bantilan namun tidak berhasil. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian melemparkan kembali tongkat ke Katelebe namun tidak berhasil mengenai Katelebe .

Melihat sengitnya perkelahian antara Katelebe dengan Raja Mohammad Haji Ali Bantilan, Kampaeng kemudian memberikan bantuan. Raja Mohammad Haji Ali Bantilan kemudian menyerah dan memohon untuk diampuni, namun permohonan tersebut tidak diindahkan dan beliau kemudian tewas dibunuh oleh Kampaeng. Kelima polisi yang dibawa Kontroleur juga tewas dibunuh rakyat sedangkan Marsaoleh Haji Mohammad Saleh Bantilan berhasil melarikan diri. Beliaulah yang melaporkan kejadian tersebut ke Tolitoli

Peristiwa peberontakan itu membuat Haji Hayun dan 27 rakyat Salumpaga lainnya menjalani proses persidangan hingga ke Landraad, Makassar. Haji Hayun dihukum seumur hidup di Nusakambangan sementara Otto, Hasan dan Kombong, dijatuhi hukuman gantung. Sedangkan 24 rakyat lainnya, dihukum penjara 2 tahun hingga 20 tahun di Nusakambangan .
Di beberapa daerah lainnya, pengaruh SI melahirkan tokoh-tokoh yang secara eksplosif mengadakan perlawanan secara individu. Di Sindue, ada tokoh yang sangat berpengaruh, tepatnya di Desa Enu bergelar Mangge Rante (Lasadindi). Setelah ia masuk SI, beliau diangkat menjadi Komisaris Pertanian. Beliau berhubungan dengan masyarakat suku terasing di Pantai Barat (Sekarang berada di Kabupaten Donggala) dan Pantai Timur (Sekarang berada di Kabupaten Parigi Moutong), terutama Suku Tajio dan Pendau. Karena aktivitasnya dianggap membahayakan eksistensi Pemerintah Belanda di daerah itu, pemerintah berusaha menangkapnya dan usaha tersebut seringkali menemui kegagalan .

Di Tavaili, bangsawan bernama Mangalaulu atau Yululembah diangkat sebagai Kepala Distrik Sirenja tahun 1918. Namun ia memilih dipecat dari jabatannya daripada tunduk kepada Belanda. Ia lalu berangkat ke Jawa untuk mendalami SI mulai dari daerah Sukabumi sampai ke Batavia.

Berdasarkan paparan di atas dapat kita lihat bahwa perkembangan Sarekat Islam di Sulawesi Tengah sangat pesat karena SI merupakan organisasi yang berbasis pada kekuatan arus bawah yang menampilkan corak keagamaan, tidak terbatas untuk satu golongan saja dan secara terang-terangan menentang kolonialisme dan imperialisme barat sehingga SI dengan mudah menarik simpati masyarakat. Kehadiran SI di Sulawesi Tengah juga mempengaruhi perlawanan baik perlawanan bersenjata maupun melalui jalur diplomasi yang dilakukan oleh masyarakat Sulawesi Tengah terhadap kolonialisme dan imperialisme Belanda. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya tokoh-tokoh SI yang terlibat dalam perlawanan-perlawanan menentang kolonialisme dan imperialisme Belanda seperti keterlibatan Haji Hayun dalam peristiwa Salumpaga tahun 1919, gerakan Yoto Dg Pawindu di Palu. Rohana Lamarauna di Donggala, dsb.

Akan tetapi, dalam perkembangannya, SI mendapat hadangan dari dalam terutama dari kalangan elite penguasa kerajaan yang merasa bahwa kehadiran SI akan mengancam eksistensi mereka sebagai penguasa. Kemudian dengan membentuk organisasi tandingan dan bekerja sama dengan pemerintah Belanda, mereka mencoba menekan laju pertumbuhan SI di daerah kekuasaannya. Padahal secara tidak sadar, mereka telah termakan politik devide at impera yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda yang secara perlahan melemahkan kekuasaan mereka.

SI adalah organisasi besar dengan ideologi yang sangat jelas. Kekuatan organisasi ini ada pada ideologi Islam yang digunakannya. Penggunaan yang baik menyebabkan masyarakat Islam di tanah air berbondong-bondong masuk ke organisasi SI.


Jefrianto
Lahir di Lombonga, Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah pada tanggal 11 Desember 1990. Tinggal di Palu. Terdaftar sebagai Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Tadulako Palu Angkatan 2008. Anggota Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah (HIMSA) Universitas Tadulako.

Tg Karang







Tanjung karang adalah sebuah lokasi wisata pantai yang terletak di donggala, sekitar 30km dari kota palu sulawesi tengah.. di sana anda bisa menikmati indahnya pantai pasir putih dan juga air laut yang amat sangat jernih.. sehingga anda pun bisa melirik ke dasar laut.. dan juga cocok untuk snorkeling. tepatnya pertengahan bulan maret ini, penulis baru saja berwisata menikmati keindahan alam lautan di donggala..

Tempat ini cocok menjadi tujuan wisata anda, disana juga disediakan beberapa cottage dan pondok pondok untuk menemani anda bermalam di pantai yang indah.. jangan salah lo disini juga banyak bule nya.. jadi tidak hanya di bali saja.. hehehe

Walaupun lokasi ini belum begitu terkenal luas dan tidak sepopuler pantai kuta, namun tempat ini sungguh memiliki potensi yang besar untuk memajukan dunia pariwisata indonesia.. sebagai tempat tujuan wisata bahari yang sangat indah.. di sini anda bisa berenang di lautan biru yang bersih ( tidak seperti di ancol yang kini lebih mirip dengan kali penuh sampah ketimbang tempat wisata) anda pun juga bisa bersnorkeling ataupun menyelam menikmati keindahan biota bawah laut. ataupun sekedar naik perahu di semenanjung pantai hingga menuju ke dermaga donggala.. tarifnya pun tidak mahal kok.. hanya sekitar 20rb sekali jalan untuk kapasitas 10 orang..

Sebagai salah satu tujuan wisata, tempat ini sangat mudah terjangkau dari kota palu, dengan perjalanan sekitar 45 menit anda akan tiba di pantai ini.. namun sebaiknya anda datang ke sini di saat sore hari saat matahari terbenam untuk menikmati Tanda Tanda Kebesaran Allah SWT.










Sepulang dari menikmati keindahan tanjung karang, anda bisa mampir di kota tua donggala untuk berwisata atau juga anda bisa mencari pasar ikan untuk berbelanja ikan ikan yang segar ataupun sekedar makan makan.. Oh iya disana juga terdapat sebuah restoran di tengah laut.. untuk menuju kesana anda harus menaiki speed boat.. Asik kan??

Semoga suatu saat keindahan alam Donggala dan juga Sulawesi tengah dapat mengangkat dunia pariwisata indonesia.. Tidak ada salahnya kan untuk berwisata ke pantai ini??

Pelabuhan Donggala

Pelabuhan Donggala yang bersejarah

Kota Donggala dikenal sebagai kota tua yang kaya akan sejarah, tak heran bila di kota ini
tersisa banyak bangunan tua dan bersejarah, satu diantaranya adalah Pelabuhan Donggala.
Kejayaan Pelabuhan Donggala kala itu tertulis jelas dalam buku Tenggelamnya  Kapal Van der
Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
kedua buku itu menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan
Mancanegara.  
    Donggala di awal abad 19 merupakan pusat pemerintahan kolonial belanda, setelah Belanda
menguasai Sulawesi Tengah pada Tahun 1905, yang ditetapkan berdasarkan pembagian
wilayah yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia, dan oleh
pemerintah Kolonial belanda Pelabuhan ini dijadikan Belanda sebagai  pelabuhan niaga dan
penumpang.
    Pelabuhan Donggala  dahulunya merupakan jantung perekonomian kota Dongala dan
sekitarnya, bahkan juga menjadi aset kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan
kemerdekaan. Di pelabuhan ini ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi
Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera
merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai),
Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.
    Tak jauh dari pelabuhan donggala terdapat dua situs sejarah yakni lokasi tenggelamnya
kapal perang RI yakni Moro dan Giliraja yang kemudian diabadikan menjadi nama jalan di kota
Donggala, selain dua kapal itu turut pula  tenggelam kapal Mutiara, Insumar dan RI Palu,  yang
ketika itu tengah berlabuh, peristiwa ini menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda
kapal Moro.
    Namun  sejak pelabuhan Donggala dipindahkan ke Pantoloan, kejayaan kota Donggala
perlahan memudar, kota yang dahulunya disebut-sebut sebagai kota pelajar, kota niaga
perlahan-lahan semakin hilang dari perbincangan dan peta politik nasional bahkan lokal.