Senin, 26 Maret 2012

Pelabuhan Donggala

Pelabuhan Donggala yang bersejarah

Kota Donggala dikenal sebagai kota tua yang kaya akan sejarah, tak heran bila di kota ini
tersisa banyak bangunan tua dan bersejarah, satu diantaranya adalah Pelabuhan Donggala.
Kejayaan Pelabuhan Donggala kala itu tertulis jelas dalam buku Tenggelamnya  Kapal Van der
Wijck milik Buya Hamka, dan Tetralogi Pulau Buru milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer,
kedua buku itu menyebut nama Donggala sebagai tempat singgah para pelaut Nusantara dan
Mancanegara.  
    Donggala di awal abad 19 merupakan pusat pemerintahan kolonial belanda, setelah Belanda
menguasai Sulawesi Tengah pada Tahun 1905, yang ditetapkan berdasarkan pembagian
wilayah yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal W. Rooseboom di Batavia, dan oleh
pemerintah Kolonial belanda Pelabuhan ini dijadikan Belanda sebagai  pelabuhan niaga dan
penumpang.
    Pelabuhan Donggala  dahulunya merupakan jantung perekonomian kota Dongala dan
sekitarnya, bahkan juga menjadi aset kebudayaan dan politis pergerakan perjuangan
kemerdekaan. Di pelabuhan ini ketika terjadi penolakan pendudukan Belanda yang diboncengi
Sekutu/NICA, barisan Pemuda Indonesia Merdeka (PIM) melakukan penurunan bendera
merah-putih-biru milik pemerintah Hindia Belanda di halaman Kantor Doane (Bea dan Cukai),
Pelabuhan Donggala, 21 November 1945.
    Tak jauh dari pelabuhan donggala terdapat dua situs sejarah yakni lokasi tenggelamnya
kapal perang RI yakni Moro dan Giliraja yang kemudian diabadikan menjadi nama jalan di kota
Donggala, selain dua kapal itu turut pula  tenggelam kapal Mutiara, Insumar dan RI Palu,  yang
ketika itu tengah berlabuh, peristiwa ini menewaskan sejumlah anak buah kapal dan nahkoda
kapal Moro.
    Namun  sejak pelabuhan Donggala dipindahkan ke Pantoloan, kejayaan kota Donggala
perlahan memudar, kota yang dahulunya disebut-sebut sebagai kota pelajar, kota niaga
perlahan-lahan semakin hilang dari perbincangan dan peta politik nasional bahkan lokal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar